Di setiap kabupaten, tak terkecuali Kabupaten Tulungagung, pasti
memiliki tokoh- tokoh lokal yang mempunyai jasa tertentu terhadap
daerahnya. Tokoh tersebut biasanya diuri- uri (dilestarikan)
keberadaannya oleh masyarakat sekitar dimana tokoh tersebut dimakamkan.
Cara masyarakat melestarikan sang tokoh biasanya membangun, menjaga dan
membersihkan makamnya. Ada kalanya mengenang semua peristiwa yang
pernah dilakukan oleh sang tokoh kemudian diceriterakan secara lesan
kepada generasi berikutnya. Bahkan tidak sedikit yang membuat cerita-
cerita baru sekedar untuk meyakinkan kehebatan sang tokoh kepada orang
lain.
Kalau kita sedang berada di lapangan Pasar Pahing (Lapangan Wira
Mandala), barat terminal Tulungagung, di barat lapangan ada jalan ke
utara. Berjalan ke utara sekitar 300 meter kemudian belok ke kanan 100
meter (ke timur) akan kita temukan sebuah makam kuno di dalam bangunan
kecil di sebelah utara jalan. Makam tersebut adalah makamnya Mbah
Kumbang.
Mbah Kumbang yang memiliki nama asli Imam Hambali tidak diketahui
secara jelas asal usulnya dari mana. Nama Jawa beliau adalah Ki Mulyono.
Beliau dimakamkan di Kelurahan Karangwaru Kecamatan Kota Tulungagung.
Sampai saat ini makam Mbah Kumbang banyak dikunjungi oleh peziarah yang
melakukan dzikir dan bacaan kalimat thoyyibah lainnya untuk mendoakan
beliau. Sudah barang tentu kalau akan masuk ke makam Mbah Kumbang harus
minta izin dahulu kepada Kaur Kesra (Modin) Kelurahan Karangwaru, karena
yang memiliki tanggung jawab pemeliharaan makam Mbah Kumbang adalah
Kelurahan Karangwaru yang secara teknis perawatannya diserahkan kepada
Kaur Kesra dan Kaur Kesralah yang membawa kuncinya makam.
Mbah Kumbang oleh masyarakat Karangwaru dipercayai sebagai orang yang
awal mula babat alas Karangwaru dan mengajar ngaji serta dakwah
Islamiyah di Karangwaru dan sekitarnya sehingga Islam berkembang di
Karangwaru sampai saat ini. Oleh sebab jasa beliau inilah makam Mbah
Kumbang pernah dibangun oleh bapak H. Yamani dan sampai sekarangpun jika
ada perbaikan makam keluarga bapak H. Yamani selalu dilibatkan. Beliau
mendapat julukan (panggilan) Mbah Kumbang karena kalau tadarus (membaca)
Al Qur’an atau berdoa suaranya gembremeng ( berdengung) seperti suara
kumbang yang sedang terbang. Namun ada juga yang menyatakan beliau
mendapat julukan Mbah Kumbang karena keahliannya membuat ukir- ukiran
kayu. Mbah Kumbang kalau mengukir kayu , dalam membuat lekuk-an-
lekuk-an (lengkung) , kedalaman pahatan, kerumitan, kehalusa dan tipenya
mirip bagaikan se-ekor kumbang.
Sesuai daftar silsilah yang terdapat di makam Mbah kumbang, beliau
keturunan ke 9 dari Ibrahim Asmarakundi. Silsilah tersebut lebih
lengkapnya sebagai berikut:
1. Ibrahim Asmarakundi.
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel).
3. Syarifuddin (Raden Kosim/ Sunan Drajad)
4. Umayah
5. Anim
6. Djamus
7. Ma’ruf
8. Dja’far
9. Rohmat
10. Imam Hambali (Mbah Kumbang)
Jasa- jasa beliau disamping telah babat alas di Karangwaru dan
berdakwah Islamiyah, beliaulah yang telah membuat hiasan berupa ukir-
ukiran masjid Agung Kabupaten Tulungagung yang dibangun tahun 1847 pada
masa kadipaten Ngrowo dijabat oleh RMT. Djajaningrat, Adipati (bupati)
Ngrowo ke 5 (1831- 1855). Sekarang masjidnya dipindah di Dusun Gleduk
Desa Gedangsewu Tulungagung, tepatnya di pondok pesantren almarhum bapak
H. Mashuri. Mbah Kumbang, disamping telah membuat ukir- ukiran masjid
Agung Tulungagung, beliaulah yang telah membuat ukir- ukiran pendopo
Kabupaten Tulungagung yang dibangun tahun 1824 pada masa Kadipaten
Ngrowo dijabat oleh RMT. Pringgodiningrat, Adipati (Bupati) Ngrowo ke 4
(1824- 1830) . Pendopo Kabupaten Tulungagung tersebut sekarang sudah
mengalami beberapa kali renovasi dan diberi nama “ Kongas Arum
Kusumaning Bongso”. Nama tersebut menunjukkan suryo sengkolo tahun
pembuatan/ renovasi pendopo, yaitu kongas= 0, arum= 9, kusuma= 9 dan
bomngso=1. Dibaca terbalik menjadi 1990 .M. Yang memberi nama pendopo
dan alun- alun Tulungagung adalah Bapak Ema Kusmadi, budayawan Jawa
Tulungagung.
Walaupun masa kehidupan Mbah Kumbang tidak dapat ditelusuri secara
pasti; kapan lahir, kapan meninggal , kapan babat alas dan dengan siapa
saja, siapa istrinya dan siapa anaknya, namun karena beliau orang yang
telah membuat ukir- ukiran masjid dan pendopo Kabupatena Tulungagung,
maka dapat dipastikan beliau hidup pada abad 18, antara tahun 1824 -1855
. Menurut penuturan Kaur Kesra Karangwaru yang diperoleh dari berita –
berita masyarakat sebelumnya, semua alat- alat pertukangan dalam
membuat ukir- ukiran pendopo maupun masjid ditanam dekat makam beliau,
tepatnya di timurnya.
Ada cerita yang menyatakan bahwa Mbah Kumbang sangat akrab dengan
Mbah Langkir yang makamnya ada di dekat masjid Desa Winong. Kalau
dilihat tahun kehidupan antara Mbah Kumbang dengan Mbah Langkir memang
berdekatan. Mbah langkir hidup di Kadipaten Ngrowo setelah perang
Diponegoro ( 1825- 1830 ). Mbah Langkir salah seorang mantan prajurit
Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Kadipaten Ngrowo setelah
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makasar. Apalagi
domisili Mbah Langkir ketika masih hidup di sekitar perempatan selatan
alun- alun Tulungagung, dekat dengan desa Karangwaru tempat domisili
Mbah Kumbang. Disamping itu keduanya sama- sama terkenal sebagai tokoh
spiritual pada masanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar